Batavia Air Maskapai yang Tak Pernah Kecelakaan Tapi Jatuh Juga

Makapai Batavia Air - Armada Airbus A-321

Dunia Aviasi - Industri penerbangan nasional selalu menjadi arena yang penuh kejutan. Setelah tragedi misterius Adam Air, tanah air kita kembali dihebohkan oleh kebangkrutan PT Metro Batavia, pemilik maskapai Batavia Air. Meskipun tidak sepopuler Air Asia, Batavia Air telah menjadi alternatif bagi masyarakat yang ingin terbang tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam. Maskapai ini menawarkan layanan yang tidak kalah dengan maskapai berbiaya murah lainnya.

Sayangnya, nasib kurang baik menghampiri Batavia Air, dan perusahaan ini bergabung dalam panjangnya daftar pengusaha yang mencoba peruntungan di bisnis penerbangan Indonesia. Batavia Air menyusul nasib buruk yang menimpa Adam Air, yang akhirnya harus tutup dengan meninggalkan sejumlah misteri.

Dalam artikel ini, kami akan membahas perjalanan maskapai ini, yang pada awalnya berawal dari sebuah biro perjalanan, hingga mencapai puncaknya sebagai maskapai penerbangan nasional yang dihormati. Namun, akhirnya, Batavia Air harus menghadapi masa-masa sulit yang berujung pada kebangkrutan.

Berawal dari Biro Perjalanan

Batavia Air, yang awalnya dikenal sebagai Metro Batavia, berdiri pada tahun 2001 dan mulai beroperasi penuh pada Januari 2002 setelah mendapatkan Air Operator Certification (AOC). Pada tanggal 5 Januari 2002, Batavia Air mulai beroperasi dengan satu pesawat Fokker F28 yang dipinjam dari Sempati Air dan dua unit Boeing 737-200. Rute penerbangan pertama yang dilayani oleh Batavia Air adalah Jakarta-Pontianak.

Uniknya, Batavia Air tidak berasal dari bisnis penerbangan, melainkan dari sebuah biro perjalanan keluarga yang telah beroperasi sejak 1973. Yudiawan Tansari, pemilik Batavia Air, sebelumnya adalah pengusaha di bidang biro perjalanan dengan PT Setia Sarana Tour & Travel sebagai benderanya.

Hingga tanggal 31 Januari 2013, Batavia Air telah melayani 42 rute penerbangan dengan basis bisnis di Jakarta dan Surabaya. Keberhasilan Batavia Air terletak pada strategi cerdasnya, yang membidik kelas menengah dengan layanan standar yang tidak murah, namun juga tidak terlalu mewah. Hal ini membuat Batavia Air menjadi pilihan bagi banyak penumpang.

Bahkan, Batavia Air berhasil memperluas cakupan internasionalnya sejak tahun 2003, dengan rute-rute seperti Jakarta-Guangzhou, Jakarta-Pontianak-Kuching, dan Jakarta-Denpasar-Perth. Seiring berjalannya waktu, Batavia Air bahkan telah mencapai wilayah penerbangan China, Malaysia, Singapura, Timor Leste, dan Arab Saudi.

Maskapai Zero Accident

Meskipun persaingan di industri penerbangan semakin ketat, Batavia Air berhasil mempertahankan reputasinya sebagai maskapai dengan tingkat kecelakaan nol atau Maskapai Zero Accident. Di tengah serangkaian insiden kecelakaan yang menghantui maskapai penerbangan di Indonesia, pemerintah memutuskan untuk memeringkat maskapai berdasarkan tingkat keselamatan. Pada pemeringkatan tahun 2007, Batavia Air mendapat peringkat III, yang artinya hanya memenuhi syarat minimal keselamatan.

Namun, Batavia Air segera memperbaiki diri dan mendapatkan peringkat kategori 1 dari Kementerian Perhubungan pada tahun 2009. Maskapai ini bahkan menjadi salah satu dari empat maskapai Indonesia yang diizinkan terbang ke Uni Eropa sejak Juni 2010.

Selama 10 tahun terakhir, meskipun mengalami beberapa insiden kecelakaan, Batavia Air dapat bersyukur karena tidak ada korban jiwa yang pernah terjadi di dalam pesawatnya.

AirAsia Mengincar Batavia Air

Reputasi Batavia Air sebagai maskapai dengan tingkat kecelakaan nol membuatnya menjadi incaran perusahaan penerbangan besar, termasuk AirAsia, maskapai berbiaya murah asal Malaysia. Pada bulan Juli 2012, AirAsia mengumumkan niatnya untuk mengakuisisi 100% saham Batavia Air. Mereka bahkan menyiapkan dana hingga US$ 80 juta dalam bentuk tunai untuk akuisisi ini.

"Investasi sebesar US$ 80 juta ini akan kami bayar tunai, yang dananya akan diambil dari internal perusahaan," kata Chief Executive Officer AirAsia, Tony Fernandes saat itu.

Meskipun pemilik Batavia Air, Yudiawan Tansari, menyatakan bahwa perusahaan ini telah mencapai saatnya untuk berkembang melalui aksi korporasi setelah 10 tahun berkembang, AirAsia akhirnya mengurungkan niatnya. Riset OSK Research menunjukkan bahwa Batavia Air terlilit utang yang tinggi dan memiliki margin bersih yang sangat rendah pada tahun 2011. Selain itu, perusahaan keluarga ini tampaknya tidak dikelola dengan baik.

Banyak pesawat yang dimiliki oleh Batavia Air sudah berumur 15-20 tahun, yang mengakibatkan tingginya biaya perawatan dan konsumsi bahan bakar. AirAsia dan mitranya, PT Persindo Nusaperkasa, akhirnya memutuskan untuk menjalin kerjasama operasional dengan Batavia Air daripada mengambil alih sepenuhnya.

Pailit dan Akhirnya Jatuh

Pada tanggal 30 Januari 2013, nasib buruk menimpa Batavia Air ketika Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengumumkan kebangkrutannya dengan nomor putusan 77. Keputusan ini diambil setelah perusahaan pembiayaan International Lease Finance Corporation (ILFC) menggugat Batavia Air sebesar US$ 4,68 juta pada tanggal 13 Desember 2012. Meskipun telah diberi peringatan, Batavia Air tidak membayar utangnya kepada ILFC.

Keputusan pailit ini tidak hanya mengakhiri perjalanan Batavia Air, tetapi juga memunculkan berbagai kontroversi. Kuasa Hukum PT Metro Batavia, Odie Hudiyanto, mengungkapkan bahwa ada indikasi tindak pidana penjualan aset Batavia Air senilai Rp 40 miliar, yang terjadi tiga hari sebelum pengadilan mengumumkan kebangkrutan. Aset ini bisa digunakan untuk membayar gaji tertunggak kepada karyawan.

Menurut Tim Kurator Pailit PT Metro Batavia, total utang maskapai ini mencapai Rp 2,5 triliun, yang terdiri dari pinjaman komponen, utang kreditur separtis, utang komponen khusus agen, dan utang kreditur istimewa. Utang ini meningkat seiring berjalannya waktu, terutama karena tunggakan pajak perusahaan yang mencapai Rp 359 miliar pada tahun 2010.

Kisah Batavia Air adalah cerita yang mencengangkan tentang bagaimana sebuah maskapai penerbangan dengan rekam jejak nol kecelakaan akhirnya jatuh karena utang dan masalah manajemen. Keputusan AirAsia untuk tidak jadi mengakuisisi maskapai ini juga menjadi momen penting dalam perjalanan Batavia Air.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa di dunia bisnis, bahkan kesuksesan dan reputasi positif tidak selalu cukup untuk bertahan. Manajemen yang baik dan keuangan yang sehat adalah kunci untuk menjaga keberlangsungan sebuah perusahaan, terutama dalam industri yang penuh persaingan seperti penerbangan. Semoga cerita ini dapat menjadi pelajaran bagi para pelaku bisnis lainnya tentang pentingnya pengelolaan yang bijak dan kehati-hatian dalam mengelola utang.

Posting Komentar

0 Komentar